PK IMM FE UHAMKA Jakarta Timur

Minggu, 02 Oktober 2011


Pemerintah Harus Lawan Radikalisasi Agama


Jakarta,  Seruu.com - Mantan Ketua Umum PBNU  yang juga Sekjen Internasional Conference of Islamic Scholars (ICIS) KH Hasyim Muzadi, mengatakan  aksi bom bunuh diri di Solo menunjukan bahwa kekerasan atas nama agama masih terus berlangsung.
Penyebabnya, karena pemahaman agama yang masih kurang. Untuk itu, pemerintah harus melakukan langkah-langkah pencegahan secara konkret, yaitu melawan radikalisasi agama.

Pertama, agar Badan Nasional Pemberantasan Terorisme harus koordinasi dengan Kementerian Agama dan Departemen Dalam Negeri untuk membuat program dari tingkat nasional sampai tingkat kabupaten/kota. Koordinasi tersebut bisa dilakukan dengan mengumpulkan seluruh tokoh lintas agama.

Demikian rilis Hasyim Muzadi yang diterima pada Senin (26/9/2011).  Selain itu, tokoh lintas agama, dihimbau jangan pernah lelah untuk memberi peringatan kepada masyarakat tentang masalah yang menyangkut fundamentalisme agama. "Mengingat selama ini hanya setingkat seminar di tingkat elite. Sehingga partisipasi masyarakat dan tokoh di bawah belum terkoordinasi hingga belum ada gerakan itu,” ujar Hasyim.

Ia mempertanyakan, bagaimana ada preventif action, ada langkah pencegahan sebelum bom meledak. Itu harus tercantum di UU. Tidak perlu takut HAM. Padahal HAM di Indonesia itu belum jelas. Apakah meneror itu HAM? HAM yang sebenarnya itu yang real. Bukan berarti harus korbankan semuanya demi slogan HAM”, ujar bekas Ketua Umum Pengurus Besar Nadhatul Ulama (PB NU) itu.

Selain itu kata Hasyim, pola penanganan oleh aparat keamanan dalam menghalau gerakan terorisme harus dilakukan melalui pendekatan kultural agama, pendekatan hukum, security dan pendekatan represi."Kalau polisi hanya menembak di jalan malah menyuburkan terorisme,” tambah Pengasuh Pesantren Al Hikam Malang ini.

Sebab, hingga saat kini belum ada strategi yang jitu dan koordinasi yang matang untuk pemberantasan terorisme."DPR juga tidak boleh membiarkan undang-undang sekarang sehingga jatuh korban yang terus menerus dari orang yang tak berdosa. Juga, BIN tidak tajam menganalisa karena Undang-undang belum tajam. Seluruh ulama se-Indonesia secara bertahap harus diberi pengertian tentang bahaya terorisme,” ujarnya.

Terkait soal motif di balik bom bunuh diri itu, Hasyim beranggapan, motifnya hanya membuat kekacauan dengan menggunakan isu SARA. Diduga aksi bom bunuh diri tersebut ditumpangi kepentingan yang lebih besar.

Cinta Sejati: “Pacaran Dulu atau Nikah Dulu?”


Meraih cinta sejati dalam keharmonisan suami isteri merupakan dambaan setiap pasangan. Seorang suami mendambakan isteri yang akan mencintainya dengan sepenuh hati, begitu pun sebaliknya. Keduanya menginginkan agar cintanya langgeng sampai akhir hayat.
Masalahnya, bisakah kita mendapatkan cinta seperti itu kalau masing-masing pasangan tidak mengenal lebih jauh siapa calon pasangannya. Menurut mereka, kenal nama, wajah, keluarga calon pasangan saja belum cukup. Tapi, harus kenal lebih jauh bagaimana karakter asli calon pasangannya, agar tidak ‘kecele’ di kemudian hari.
Pemikiran inilah yang akhirnya ‘menghalalkan’ begitu banyak orang untuk melakukan pendekatan. Biasanya orang menyebut dengan pacaran. Ada yang merasa belum cukup sebulan, setahun, dua tahun, hingga sepuluh tahun. Lebih repot lagi ketika ujung hubungan ini berakhir pada PHC atau pemutusan hubungan cinta. Alih-alih mendapatkan rasa saling memahami, justru yang ada menjadi saling benci dan ancam.
Pemikiran yang terlihat positif ini, sebenarnya sangat mudah untuk didompleng berbagai kepentingan. Utamanya adalah setan untuk membejatkan nafsu manusia, baik pria maupun wanita. Sehingga, pacaran menjadi seperti ‘legitimasi sosial’ pemuasan nafsu syahwat pria dan wanita. Pada akhirnya, karena sudah sangat membudaya, pacaran menjadi kelaziman hingga keharusan untuk calon pasangan suami isteri.
Terdengar menjadi sangat aneh ketika pria dan wanita memasuki gerbang pernikahan tanpa melalui pacaran sama sekali. “Kayak beli kucing dalam karung,” begitu kira-kira ungkapan sebagian orang Betawi.
Pertanyaannya, kalau pacaran memang dilarang Islam, apakah mungkin bisa terjalin cinta sejati antara suami isteri, padahal mereka tidak saling kenal lebih jauh jatidiri masing-masing. Apakah tidak akan terjadi penyesalan di kemudian hari. Kalau ketidakcocokan di saat pacaran kan bisa diputus, lalu gimana kalau ketidakcocokan ketika sudah menikah, apalagi ketika sudah punya anak?
Logika-logika awam seperti ini kerap muncul dan menjadi ganjalan seorang lajang muslim untuk menapaki gerbang pintu pernikahan. “Bisa gak sih nikah tanpa melalui pendekatan atau pacaran?”
Sepintas, logika awam seperti itu mengandung sebuah kebenaran: Hubungan pernikahan adalah hubungan yang sangat spesial antara pria dan wanita yang tidak punya batasan waktu, karena itu mesti dilakukan dengan hati-hati, dan melalui pendekatan yang dalam. Tapi lihatlah, bagaimana akhir dari sepak terjang kaum selebritis yang gonta-ganti pasangan karena ingin mendamba rumah tangga yang harmonis. Kebanyakan dari rumah tangga mereka hanya seumur jagung.
Perhatikanlah apa yang disampaikan Yang Maha Pencipta dan Maha Tahu terhadap ciptaan-Nya. Dalam Alquran, Allah swt. memberikan sebuah rumusan tentang menggapai cinta yang baik dan benar antara pria dan wanita.
Dalam Surah Ar-Rum ayat 21, Allah swt. berfirman.
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”
Perhatikanlah ayat itu. Allah swt memberikan isyarat kepada kita bahwa jodoh atau pernikahan merupakan sebuah pintu untuk bisa mendapatkan ketenangan, cinta, dan kasih sayang. Bukan sebaliknya, memburu ketenangan, cinta, dan kasih sayang terlebih dahulu, baru kemudian memasuki pintu pernikahan.
Hal yang sebaiknya kita pahami adalah bahwa cinta yang didasari pada faktor biologis seperti cantik atau ganteng, cocok dan menarik karena hal-hal yang terlihat dari fisik seseorang, begitu sangat relatif. Penilaian mudah berubah-ubah tergantung situasi dan kondisi.
Ketika seorang lelaki dan wanita terkondisikan dalam sebuah ruangan secara rutin, akan muncul rasa ketertarikan. Padahal boleh jadi, keduanya sudah punya calon masing-masing di tempat lain. Ketertarikan yang memunculkan cinta pria dan wanita bisa berubah tergantung keadaan yang membentuknya.
Karena itu, ketika seorang pria dan wanita yang sudah terikat dalam pernikahan, akan terkondisikan secara alamiah untuk saling memunculkan rasa ketertarikan dan cinta. Pada situasi dan kondisi ini, ketertarikan dan cinta mereka akan lebih kuat karena didorong oleh tanggung jawab atau amanah. Bandingkan dengan pengkondisian yang dilakukan pada saat pacaran: tanpa beban, bahkan mungkin sekadar iseng, dan coba-coba.
Hal lain yang bisa dipahami dari ayat di atas adalah meraih cinta dengan cara pernikahan hanya bisa dilakukan oleh mereka yang punya ikatan keimanan yang bagus kepada Allah swt. Allah mengawali ayat ini dengan menyebut tanda-tanda kebesaran-Nya yang hanya bisa ditangkap oleh mereka yang punya kacamata iman. Tanpa kacamata ini, seorang pria atau wanita hanya akan saling memandang dan menilai dengan kacamata nafsu syahwat saja.
Ketika pintu pernikahan sudah di depan mata, ketika kemantapan untuk mengarungi bahtera rumah tangga sudah begitu mantap, selebihnya adalah tawakal kepada pemilik bahtera yang sebenarnya, Allah swt. Insya Allah, keraguan terhadap hal-hal yang akan mengurangi cinta dari calon pasangan kita, bisa berupa wajah, penampilan, status sosial, dan lain-lain, akan tergantikan dengan keberkahan lain.
Allah swt. menjanjikan itu dalam firman-Nya di Surah An-Nisa ayat 19.
فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَن تَكْرَهُواْ شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
 “…bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”
Dari bahasan di atas, Insya Allah, tidak muncul lagi pertanyaan yang kerap menyesatkan proses pernikahan itu sendiri: “Pacaran dulu? Atau nikah dulu?”(muhammadnuh@eramuslim.com)
Kepada (Mantan) Saudaraku Yang Murtad


Begitu terlenanya engkau dengan kehidupan dunia dan segala gemerlapnya sampai- sampai kau mengorbankan akidahmu sebagai muslim. Dan  aku kini menyebutmu `mantan` saudaraku, karena dahulu aku mencintaimu karena Allah, dan kini aku membencimu pun juga karena Allah.
Kau berkata karena kau kelaparan. Ingatlah, mantan kawanku, Dalam satu riwayat dikisahkan bahwa ketika Nabi muhammad mengimami shalat berjamaah, para sahabat mendapati seolah-olah setiap beliau berpindah rukun terasa susah sekali dan terdengar bunyi yang aneh.
Para sahabatpun terkejut ketika mendapati perut Rasulullah yang kempis tengah di lilit oleh sehelai kain yang berisi batu kerikil sebagai penahan rasa lapar. Ternyata, batu-batu kerikil itulah yang menimbulkan bunyi aneh setiap kali tubuh Rasulullah bergerak. Para sahabatpun berkata, “Ya Rasulullah, apakah bila engkau menyatakan lapar dan tidak punya makanan, kami tidak akan mendapatkannya untuk engkau?.” Rasulullah pun menjawab dengan lembut, “Tidak para sahabatku. Aku tahu, apapun akan kalian korbankan demi Rasulmu. Tetapi, apa jawabanku nanti dihadapan Allah, apabila aku sebagai pemimpin, menjadi beban bagi umatnya? Biarlah rasa lapar ini sebagai hadiah dari Allah buatku, agar kelak umatku tak ada yang kelaparan di dunia ini, lebih-lebih di akhirat nanti.
Dan Nabi Muhammad pun sangat begitu takwanya kepada Allah Subhanahu Wata`ala.
Kau berkata  karena kau menginginkan kekayaan. Bahkan Allah telah memberi mukjizat yang sangat hebat kepada Nabi Sulaiman. Beliau dapat melihat segala kekayaan alam yang ada di perut bumi, baik yang merupakan emas, perak, besi dan tembaga, begitu pula harta kekayaan yang berada di dalam laut, seperti intan, mutiara dan berbagai-bagai pualam yang mahal-mahal harganya. Ditambah lagi, segala jin dan setan pun dapat dikuasai oleh Nabi Sulaiman, sehingga kekuatan jin dan setan itu dapat digunakan oleh Nabi Sulaiman untuk menjadi kuli, kaum pekerja yang harus mengeluarkan semua kekayaan dan perhiasan sebanyak itu, untuk mendirikan rumah-rumah dan gedung-gedung besar dan megah.
Dan Nabi Sulaimanpun sangat begitu bertakwanya kepada Allah Subhanahu Wata`ala.
Kau Berkata karena kau menginginkan ketampanan. Apakah kau masih ingat tentang kisah nabi yusuf yang begitu tampannya sampai para wanita yang melihat tanpa sadar mengiris tangan mereka. Dan sang permaisuri raja pernah menggodanya untuk diajak berzina, namun nabi Yusuf takut kepada Allah, dan menolak semua itu.
Dan Nabi Yusufpun sangat begitu bertakwanya kepada Allah Subhanahu Wata`ala.
Kau berkata karena kau meyakini apa yang mereka katakan kepadamu. Telitilah kembali! pelajarilah lagi apa yang mereka ucapkan itu. Tak apa jika kau harus mengharuskan hidupmu demi semua itu, dari pada kau harus menggadaikan keselamatanmu di dunia dan menyia- nyiakan akheratmu. Dan ketika semakin dalam kau mempelajari atau bahkan sebaliknya, kau mencari kekurangan dalam islam, maka akan semakin jelaslah kau menemukan kesempurnaan didalamnya. Jangan begitu bodoh, mantan temanku. Jangan kau biarkan akalmu yang dangkal dan pengetahuan mu yang banyak bersumber hanya dari sebuah kira- kiramu saja, malah kau jadikan pemimpin atas sebuah keputusan sangat besar dalam hidupmu. Bahkan yang mereka katakan tak jarang adalah hanya berupa kutipan-kutipan ide-ide yang dicomot dari sana-sini, dan terkesan hanya sebagai pemikiran asal-asalan belaka alias plagiator, yang tergantung waktu, dan atau bisa saja tergantung selera dan pesan sponsor.
Maka hentikanlah semua ucapanmu, karena bahkan hati nuranimu sendiri lebih mengetahui dan tak akan mungkin berbohong kepadamu.
Bukan kepada manusia sekitarmu kau harus bersusah payah menjelaskan semua alasan yang kau yakini, namun cukup kepada hati nuranimu sendiri.
Kau telah mengkhianati tuhanmu yang maha menyayangi dan mengasihimu bahkan lebih dari dirimu sendiri. dan sadarlah bahwa Kau telah menjual sesuatu yang sangat sedikit demi sebuah keabadian.
Jika kau masih dengan sikapmu untuk mendamaikan dirimu sendiri bahwa semua agama adalah baik, maka kau telah salah mantan saudaraku, bahkan Allah telah menjelaskan dengan sangat gamblang tentang hal itu bahwa,
Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. (QS Ali Imran:19)
Juga firman-Nya:
“Barangsiapa mencari agama selain agama islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”.3 (QS Ali Imran:85).
Maka lihatlah, begitu repot sekali lagi kau bersusah payah menenangkan dirimu untuk seolah olah kau tenang dengan yang kau jalani sekarang, padahal kau begitu gelisah. Pertanyaannya adalah, akan sampai kapan kau bertahan dalam pondasi retak seperti itu. Janganlah berlama- lama, atau bangunan hatimu yang akan tidak kuat lagi menopang kepura- puraanmu akan roboh dan menghancurkan dirimu sendiri.
Bukankah hidup ini adalah tentang kejujuran. Ya, kau akui ataupun kau sangkal, jujur kepada diri sendiri dan hati nurani adalah yang paling melegakan dan memerdekakanmu. Maka mengapa harus kau penjara dirimu sendiri?
Jujurlah, menyerahlah, dan kembalilah kepada jalur hatimu, jalur hidupmu, walaupun tinggal sedikit cahaya yang menyinarinya. Namun kau masih punya walaupun sangat sedikit, sedangkan lihatlah mereka yang lain yang tetap dengan santai melenggang di dunia dan tanpa menghiraukan suara hati nuraninya sendiri, bahkan berusaha menutupi dan acuh kepadanya. Mereka tersesat semakin jauh dan akhirnya Allah mengunci mati hatinya. 
Yang terakhir untukmu, mantan kawanku, ingatlah tentang satu firman Allah dibawah ini,  jika kau masih meragu,
`Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.(QS Ali Imran:102`.

Media Islam Bukan Provokator, Tapi sebagai Penyeimbang


Jakarta (voa-islam) – Ketua Komisi bidang Informasi dan Komunikasi (Infokom) Majelis Ulama Indonesia (MUI) S.Sinansari Encip menyesalkan, adanya ketidakseimbangan informasi oleh media massa dalam memberitakan sesuatu yang menyangkut kepentingan umat Islam. Sebagai contoh, tewasnya tukang ojek di Ambon, tidak pernah diungkap oleh media, apakah murni kecelakaan atau dibunuh. Padahal ini harus diungkap secara jelas. Inilah yang menyebabkan umat Islam diperlakukan tidak adil untuk mendapatkan informasi secara utuh dan benar.
Pemberitaan di Ambon kurang mendapat perhatian. Jika dikatakan kondusif, tentu harus sesuai dengan faktanya. Jangan malah membiarkan api dalam sekam. “Yang saya dengar, umat Islam di Ambon kurang puas dengan follow up perjanjian Malino,” kata Sinansari kepada voa-islam usai menerima laporan Forum Umat Islam (FUI) terkait kerusuhan di Ambon.
Dalam jurnalistik, wartawan senior itu melihat ada dualisme, antara fakta yang harus diberitakan dengan yang fakta yang tak perlu diberitakan. “Memang tidak semua fakta layak diberitakan, pertimbangannya apakah situasinya bisa memanas atau tidak. Keberpihakan sebuah media itu juga harus sesuai kenyataan. Tapi sebaiknya, jangan memberitakan sepihak saja, seharusnya berimbang.”
Ketika ditanya, apakah media massa itu bisa dikatakan berbohong, jika ada fakta yang sesungguhnya terjadi, namun justru tidak diberitakan? Dikatakan Sinansari Encip yang juga mantan Pemimpin Redaksi Majalah Panjimas, bahwa tidak mengatakan semua apa yang terjadi, tidak bisa dikatakan sebagai kebohongan, selama ada alasan dan pertimbangan yang masuk akal. Kecuali ada peristiwa A lalu dikatakan B, itu baru bohong.
“Disaat genting,  keputusan dimuat atau tidaknya berita, ada di tingkat pimpinan, dalam hal ini pemimpi redaksi. Pemred tentu punya tanggung jawab sosial, sehingga ada pertimbangan tertentu untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, “ tandasnya.
Yang jelas, seorang reporter wajib menulis dan menyampaikan semua fakta yang terjadi di lapangan. Lalu  keputusan dimuat atau tidaknya berita, merupakan wewenang  redaktur ataupun Pemred. Biasanya hal itu kembali pada kepentingan media yang bersangkutan. 
Kenapa berita tidak berimbang? “Itu disebabkan, sang reporternya tidak tahu, atau memang ada kepentingan tertentu. Untuk kasus Ambon, polemik apakah tukang ojek yang tewas itu dikarenakan kecelakaan murni atau dibunuh, maka media atau jurnalis harus mengungkap apa yang sesungguhnya terjadi. Masyarakat berhak mendapatkan informasi secara benar, tak perlu ditutup-tutupi, sehingga tidak meruncingkan masalah. Kasus ini harus diperjelas. Itu termasuk fakta yang perlu perlu dipublikasikan kepada  khalayak.”
Ketika media umum tidak memberitakan secara seimbang, terutama yang menyangkut kepentingan umat Islam, maka media Islam seyogianya tampil sebagai penyeimbang. “Media Islam tentu punya misinya sendiri untuk membela kepentingan umat Islam. Karena itu, media Islam harus berpihak pada sesuatu kebenaran yang bermutu, tidak ngawur, tidak kasar, dan tidak mencampurkan opini dalam pemberitaan.”
Media nasional seperti Tempo atau Kompas misalnya, mereka mengklaim sebagai media yang independen, tapi kenyataannya, pada peristiwa-peristiwa tertentu justru tidak berimbang. Kalau pun dimuat, sekedar menempatkan halaman yang tidak strategis. Tidak dijadikan headline, juga tidak dijadikan Tajuk Rencana sebagai bentuk pembelaan resmi dari media yang bersangkutan.  Bahkan Harian Republika yang katanya corong umat Islam, belum sepenuhnya maksimal. (desastian)

Cinta Sejati: “Pacaran Dulu atau Nikah Dulu?”

Meraih cinta sejati dalam keharmonisan suami isteri merupakan dambaan setiap pasangan. Seorang suami mendambakan isteri yang akan mencintainya dengan sepenuh hati, begitu pun sebaliknya. Keduanya menginginkan agar cintanya langgeng sampai akhir hayat.
Masalahnya, bisakah kita mendapatkan cinta seperti itu kalau masing-masing pasangan tidak mengenal lebih jauh siapa calon pasangannya. Menurut mereka, kenal nama, wajah, keluarga calon pasangan saja belum cukup. Tapi, harus kenal lebih jauh bagaimana karakter asli calon pasangannya, agar tidak ‘kecele’ di kemudian hari.
Pemikiran inilah yang akhirnya ‘menghalalkan’ begitu banyak orang untuk melakukan pendekatan. Biasanya orang menyebut dengan pacaran. Ada yang merasa belum cukup sebulan, setahun, dua tahun, hingga sepuluh tahun. Lebih repot lagi ketika ujung hubungan ini berakhir pada PHC atau pemutusan hubungan cinta. Alih-alih mendapatkan rasa saling memahami, justru yang ada menjadi saling benci dan ancam.
Pemikiran yang terlihat positif ini, sebenarnya sangat mudah untuk didompleng berbagai kepentingan. Utamanya adalah setan untuk membejatkan nafsu manusia, baik pria maupun wanita. Sehingga, pacaran menjadi seperti ‘legitimasi sosial’ pemuasan nafsu syahwat pria dan wanita. Pada akhirnya, karena sudah sangat membudaya, pacaran menjadi kelaziman hingga keharusan untuk calon pasangan suami isteri.
Terdengar menjadi sangat aneh ketika pria dan wanita memasuki gerbang pernikahan tanpa melalui pacaran sama sekali. “Kayak beli kucing dalam karung,” begitu kira-kira ungkapan sebagian orang Betawi.
Pertanyaannya, kalau pacaran memang dilarang Islam, apakah mungkin bisa terjalin cinta sejati antara suami isteri, padahal mereka tidak saling kenal lebih jauh jatidiri masing-masing. Apakah tidak akan terjadi penyesalan di kemudian hari. Kalau ketidakcocokan di saat pacaran kan bisa diputus, lalu gimana kalau ketidakcocokan ketika sudah menikah, apalagi ketika sudah punya anak?
Logika-logika awam seperti ini kerap muncul dan menjadi ganjalan seorang lajang muslim untuk menapaki gerbang pintu pernikahan. “Bisa gak sih nikah tanpa melalui pendekatan atau pacaran?”
Sepintas, logika awam seperti itu mengandung sebuah kebenaran: Hubungan pernikahan adalah hubungan yang sangat spesial antara pria dan wanita yang tidak punya batasan waktu, karena itu mesti dilakukan dengan hati-hati, dan melalui pendekatan yang dalam. Tapi lihatlah, bagaimana akhir dari sepak terjang kaum selebritis yang gonta-ganti pasangan karena ingin mendamba rumah tangga yang harmonis. Kebanyakan dari rumah tangga mereka hanya seumur jagung.
Perhatikanlah apa yang disampaikan Yang Maha Pencipta dan Maha Tahu terhadap ciptaan-Nya. Dalam Alquran, Allah swt. memberikan sebuah rumusan tentang menggapai cinta yang baik dan benar antara pria dan wanita.
Dalam Surah Ar-Rum ayat 21, Allah swt. berfirman.
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”
Perhatikanlah ayat itu. Allah swt memberikan isyarat kepada kita bahwa jodoh atau pernikahan merupakan sebuah pintu untuk bisa mendapatkan ketenangan, cinta, dan kasih sayang. Bukan sebaliknya, memburu ketenangan, cinta, dan kasih sayang terlebih dahulu, baru kemudian memasuki pintu pernikahan.
Hal yang sebaiknya kita pahami adalah bahwa cinta yang didasari pada faktor biologis seperti cantik atau ganteng, cocok dan menarik karena hal-hal yang terlihat dari fisik seseorang, begitu sangat relatif. Penilaian mudah berubah-ubah tergantung situasi dan kondisi.
Ketika seorang lelaki dan wanita terkondisikan dalam sebuah ruangan secara rutin, akan muncul rasa ketertarikan. Padahal boleh jadi, keduanya sudah punya calon masing-masing di tempat lain. Ketertarikan yang memunculkan cinta pria dan wanita bisa berubah tergantung keadaan yang membentuknya.
Karena itu, ketika seorang pria dan wanita yang sudah terikat dalam pernikahan, akan terkondisikan secara alamiah untuk saling memunculkan rasa ketertarikan dan cinta. Pada situasi dan kondisi ini, ketertarikan dan cinta mereka akan lebih kuat karena didorong oleh tanggung jawab atau amanah. Bandingkan dengan pengkondisian yang dilakukan pada saat pacaran: tanpa beban, bahkan mungkin sekadar iseng, dan coba-coba.
Hal lain yang bisa dipahami dari ayat di atas adalah meraih cinta dengan cara pernikahan hanya bisa dilakukan oleh mereka yang punya ikatan keimanan yang bagus kepada Allah swt. Allah mengawali ayat ini dengan menyebut tanda-tanda kebesaran-Nya yang hanya bisa ditangkap oleh mereka yang punya kacamata iman. Tanpa kacamata ini, seorang pria atau wanita hanya akan saling memandang dan menilai dengan kacamata nafsu syahwat saja.
Ketika pintu pernikahan sudah di depan mata, ketika kemantapan untuk mengarungi bahtera rumah tangga sudah begitu mantap, selebihnya adalah tawakal kepada pemilik bahtera yang sebenarnya, Allah swt. Insya Allah, keraguan terhadap hal-hal yang akan mengurangi cinta dari calon pasangan kita, bisa berupa wajah, penampilan, status sosial, dan lain-lain, akan tergantikan dengan keberkahan lain.
Allah swt. menjanjikan itu dalam firman-Nya di Surah An-Nisa ayat 19.
فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَن تَكْرَهُواْ شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
 “…bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”
Dari bahasan di atas, Insya Allah, tidak muncul lagi pertanyaan yang kerap menyesatkan proses pernikahan itu sendiri: “Pacaran dulu? Atau nikah dulu?”(muhammadnuh@eramuslim.com)